Obituari Lelyana Santosa: Pengacara Teladan yang Menolak Noda Hitam di Kantornya
Rabu, 9 Juli 2025 13:02 WIB
Dia menolak klien hitam dan membela pimpinan KPK yang dikriminalisasi. Dia membela majalah Tempo dan Time yang mempertahankan kebebasan pers.
***
Puluhan karangan bunga berjejer di sepanjang Jalan Kenari, Perumahan Bintaro Sektor 2, Kota Tangerang Selatan, Banten. Ungkapan duka cita tersebut disampaikan oleh berbagai pribadi, lembaga swadaya masyarakat, perusahaan dan pemerintahan. Termasuk karangan bunga dari tiga menteri, yaitu Rini Widyantini, Hanif Faisol dan Raja Juli Antoni. Selain itu dari Prof Machfud MD (mantan Ketua MK), Susi Pujiastudi (mantan Menteri Kelautan), Siti Nurbaya (mantan Menteri LHK), Gubernur Jakarta Pramono Anung, Direktur Utama MIND ID Maroef Sjamsoeddin dan lainnya.
Seusai pulang dari pemakaman di Tempat Pemakaman Umum (TPU) Tanah Kusir, Jakarta Selatan pada Jumat, 4 Juli 2025, Mas Achmad Santosa melihat satu persatu ucapan duka cita yang ditujukan kepada istrinya, Lelyana Yanti N Santosa. Dia meminta kerabatnya mendata karangan bunga tersebut untuk nantinya disampaikan ucapan terima kasih.
Lelyana Santosa wafat di kediamannya Jalan Kenari pada Kamis siang, 3 Juli 2025. Sejak satu setengah lalu, pendiri firma hukum LSM - Lubis Santosa & Partners ini sakit. Lelyana sempat berobat di Penang, Malaysia dan terakhir di rumah sakit di Jakarta. Sejak itu dia bolak-balik ke rumah sakit. Dua pekan lalu, Lely, panggilan akrab Lelyana, meminta tukang bangunan yang biasa merapikan rumahnya untuk mengecat dinding dalam dan luar.
“Kami merasakan ini tanda-tanda Lely hendak pergi,” kata Mas Achmad Santosa, Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) periode 2007-2011. Biasanya, rumah berlantai dua tersebut dicat ulang menjelang Idul Fitri. Selama satu pekan, tukang yang diperintahkan Lely selesai mengecat dengan warna putih, warna kesukaan almarhumah.
Ota, panggilan akrabnya, bersama anak tunggalnya, Gilang Santosa kemudian menyiapkan kepergian Lely. Mereka memesan tenda dan kursi untuk nantinya dipasang di jalan depan rumah. Kamis pagi, kesehatan Lely terus menurun. Sebentar-bentar, dia melepas katup oksigen di mulutnya. Pukul 14.17 WIB, Lely berpulang. Inna lillahi wa inna ilaihi rajiun (sesungguhnya kita adalah milik Allah dan semuanya akan kembali pada Allah SWT).
Berita lelayu disebarkan oleh keluarga, firma hukum LSM dan Indonesia Ocean Justice Initiative (IOJI yang didirikan Mas Achmad Santosa). Sampai malam hari, ratusan aktivis dari berbagai kelompok masyarakat sipil yang berjuang sejak Orde Baru hingga saat ini, berdatangan ke rumah duka. Rumah pasangan aktivis (Mas Achmad Santosa & Lelyana Yanti) ini menjadi tempat berkumpul dan bercengkrama para aktivis yang sudah lama tidak berjumpa.
Ikut takziah ke rumah duka adalah Ketua Mahkamah Agung (MA) Prof Sunarto, Wakil Ketua MA Suharto dan ketua-ketua kamar perdata, pembinaan dan pengawasan. Selain itu juga Wakil Ketua MK Prof Saldi Isra, Hakim Konstitusi Arsul Sani dan Jaksa Agung Muda Bidang Pidana Umum Prof Asep Nana Mulyana.
Keesokan harinya, Lely yang lahir di Medan, 31 Desember 1954, dimakamkan di TPU Tanah Kusir. Ratusan pelayat mengiringi jenazah Lely, lulusan Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran tahun 1980, ke liang lahat. “Lely sebagai private public lawyer selalu tidak bisa diam melihat ketidakadilan yang terjadi. Terima kasih atas dukungan para sahabat kepada Lely selama ini,” kata Ota, dalam sambutannya.
Todung Mulya Lubis, pendiri LSM-Lubis Santosa & Partners, memberi sambutan yang memaparkan perjuangan almarhumah sejak tahun 1980. Saat itu, Todung menjadi Direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta dan Lely menjadi salah satu pembela umum. Tahun 1986, ketika Todung mendirikan kantor hukum, Lely ikut bergabung. Keduanya membangun firma hukum LSM, salah satu kantor pengacara terkenal, sampai saat ini.
Sosok Lely menurut Todung bukanlah pengacara yang ‘bisa dibeli’. “Lely berani menolak klien yang hitam karena yakin bahwa klien hitam itu penuh dengan keculasan. Dia tak mau menodai diri dan tempat kerjanya dengan noda-noda hitam,” kata Todung. Sebagai alumnus LBH, ujar Todung, Lely melibatkan dirinya dalam gerakan anti korupsi, penguatan demokrasi dan hak asasi manusia, dalam melawan titanik dan kesewenang-wenangan.
Lukman Hakim Saifuddin, Menteri Agama periode 2014-2019, menyampaikan doa di depan makam Lelyana. “Kematian bukan hanya duka, tetapi juga kebahagiaan bagi yang telah menyelesaikan perjalanannya. Almarhumah memberi kita nasihat hidup bahwa suatu saat kita pun akan berpulang. Bu Lely adalah teladan, role model bagi kita semua,” ujarnya. Beberapa jam setelah pemakaman selesai, hujan lebat mengguyur kawasan TPU Tanah Kusir.
Berawal sebagai Pengacara LBH Jakarta
Lelyana Yanti lahir di Medan dari ayah seorang pegawai negeri sipil asal Jawa dan ibu dari keturunan Melayu. Sampai SMA, dia tinggal di ibu kota Sumatera Utara. Tahun 1974, Lely diterima di Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran. Enam tahun kemudian dia lulus kuliah, dan bergabung menjadi pengacara umum di LBH Jakarta.
“Saya sudah melihat komitmen kuatnya membela kelompok minoritas, under privilege dan under represented. Dia ikut terjun membela demonstran mahasiswa, petani, nelayan, dan sopir taksi,” kata Todung yang tahun 1980-1983 menjadi Direktur bidang Non Litigasi LBH Jakarta periode 1980-1983. Institusi LBH yang dibangun oleh Adnan Buyung Nasution pada tahun 1970 ini memang memberikan pelayanan bantuan hukum kepada masyarakat yang membutuhkan, terutama yang rentan dan marjinal.
Di LBH Jakarta, Lely berkenalan dengan Mas Achmad Santosa yang saat itu menjadi asisten pengacara dan masih kuliah di Fakultas Hukum Universitas Indonesia. Mereka berpacaran dan menikah tahun 1984. Lely kemudian pindah kerja menjadi pengacara pada Winita Kusnandar & Partners. Tidak berapa lama, Todung Mulya Lubis mengajak Lely bergabung ke kantor pengacara miliknya, Mulya Lubis & Associates (MLA).
Kantor hukum ini lebih banyak fokus pada corporate work, menawarkan bantuan-bantuan hukum, seperti legal service kepada perusahaan-perusahaan. Ketika baru setahun mendirikan kantor hukum, Todung pergi mengambil program doktoral di luar negeri. Selama berada di luar negeri, Lely lah yang menjalankan MLA.
Lely ikut mendampingi pengacara dari LBH Bandung dan Jakarta yang membela enam mahasiswa ITB yang dipenjara dan diadili dalam Peristiwa Lima Agustus 1989. Ketika itu, ribuan mahasiswa unjuk rasa di Gedung Serba Guna ITB Bandung, Jawa Barat untuk memboikot kedatangan Menteri Dalam Negeri Rudini karena terlibat dalam konflik tanah dan penggusuran permukiman rakyat di berbagai daerah, antara lain di Pulau Panggung, Lampung Selatan. Bakorstanasda dan Polres Bandung menangkap pimpinan mahasiswa yang melakukan demonstrasi.
Fadjroel Rachman, salah satu mahasiswa yang diadili, bercerita bahwa ketika orang-orang berdiam diri dan ketakutan terhadap teror rezim Soeharto (Orde Baru), Mbak Lely dan kawan-kawan dari LBH Bandung dan YLBHI menjadi pendamping mahasiswa ITB di garis depan. “Bukan hanya menjadi pengacara tetapi menjadi sahabat dan teman diskusi selama 3 tahun masa persidangan, vonis, pemenjaraan dan pembuangan ke Pulau Nusakambangan, Sukamiskin, Kebon Waru dan Penjara Militer Sumatra 37,” tulis Fadjroel Rachman dalam akun X- mengenang wafatnya Lelyana Santosa.
Sekembali dari luar negeri dan meraih gelar doktor, Todung Mulya Lubis membangun kembali kantor hukumnya. Baru, sekira tahun 1990, Todung mengubah nama kantor hukumnya menjadi Lubis, Santosa, Maulana (LSM). Nama Lubis, jelas diambil dari nama belakang Todung, sama halnya dengan Insan Budi Maulana. Sementara, Lely menggunakan nama belakang suaminya, Mas Achmad Santosa.
Pada tahun 1989, Mas Achmad Santosa kuliah pasca-sarjana di Osgood Hall Law School, York University, Toronto, Kanada. Lely ikut serta dan mengambil fall course di kampus ini. Di Kanada ini lahir putera mereka, Gilang M Santosa, yang kemudian mengikuti jejak ibunya sebagai pengacara.
Di Kanada ini, hobi memasak Lely makin menguat. Dia kerap menyajikan masakan dari pelbagai daerah di Indonesia untuk kerabat yang berkunjung ke apartemen mereka. Tahun 2017, Lely dan Todung mendirikan restoran bernama Daun Muda Soul Food by Andrea Peresthu di kawasan Senopati, Jakarta Selatan.
Kepada hukumonline (10 November 2017), Lely menjelaskan dirinya bergabung dalam Mulya Lubis & Associates karena merasa memiliki kesamaan ideologi dengan Todung. “Dalam arti, kita sepakat bahwa walaupun kita punya kantor yang komersial, kita masih menyisihkan tenaga dan waktu untuk hal-hal yang sifatnya tidak komersial, misalnya kita membela kaum minoritas, dan sebagainya," katanya.
Komitmen itu memang yang selalu dipesankan Adnan Buyung Nasution, pendiri LBH. Sebelum wafat, Buyung Nasution menuliskan pesan kepada Todung Lubis dalam secarik kertas: "jagalah LBH/YLBHI, teruskan pemikiran dan perjuangan bagi si miskin dan tertindas".
Bagi Lely, Buyung Nasution merupakan idola setiap pengacara. Buyung, katanya, sosok yang andal secara legal, juga memiliki hati nurani dan sensitif, dalam arti sangat demokratis. "Dia (Bang Buyung) tidak membedakan-bedakan orang, apakah secara etnis, apakah secara seksual, apa saja, miskin, kaya. Itu kita sudah tertanam dari dulu bahwa kita adalah orang yang demokratis. Kita harus menghargai keberagaman. Itu tidak bisa hilang. Jadi, orang-orang, lebih itu dari dulu sudah ditanamkan itu," ujar Lely kepada wartawan hukumonline.
LSM Law Firm berkembang menjadi salah satu firma hukum papan atas yang fokus utama pada perusahaan dan komersial, kekayaan intelektual, dan penyelesaian sengketa. Beberapa perusahaan multinasional dan nasional pernah menjadi kliennya dalam sengketa perdata, komersial dan arbitrasi. Antara lain Time Inc, PT INCO, Total E&P Indonesia, Procter & Gamble (P&G), Matahari Group, PT Nestle, dan Citibank.
Pada setiap kasus, Todung Mulya Lubis yang tampil ke publik. “Lely itu sosok yang tidak banyak bicara, tapi ketika berbicara, selalu tegas dan bermakna,” kenang Todung Mulya. Mas Achmad Santosa mengakui bahwa istrinya merupakan sosok yang tidak mau tampil ke depan. Lely baru tampil di persidangan ketika LSM Law Firm diminta Halimah Agustina Kamil dalam kasus perceraian dengan Bambang Trihatmodjo, putera mantan Presiden Soeharto. “Ini perjuangan yang tidak mudah, karena menyangkut hak-hak perempuan,” kata Achmad Santosa.
Lely yang tampil di Pengadilan Agama Jakarta Pusat menjelaskan bahwa Halimah menginginkan hubungan rumah tangganya bisa kembali baik dan siap rujuk demi keluarga dan anak-anak. Selain itu, Halimah juga siap memberikan bukti-bukti kesalahan Bambang atas dirinya. "Klien kami menginginkan rumah tangganya tetap baik. Kami sudah menjalin komunikasi dengan Bambang," kata Lely pada persidangan 2 Juli 2007.
Lely menyertakan foto-foto mesra Bambang dan Mayangsari (penyanyi yang jadi pelakor) yang sengaja dipublikasikan kepada masyarakat oleh pihak tertentu. Menurutnya, foto tersebut sebagai salah satu bukti Bambang dan Mayang telah melakukan kesalahan. “Kami menyertakan semua bukti yang ada, namun keputusannya ada di tangan hakim," ujar Lely.
Pengadilan Agama Jakarta Pusat mengabulkan gugatan cerai talak Bambang Trihatmodjo terhadap Halimah pada 16 Januari 2008. Namun Pengadilan Tinggi Agama mengabulkan banding Halimah sehingga putusan cerai dibatalkan. Mahkamah Agung menolak kasasi Bambang. Dalam Peninjauan Kembali, MA mengabulkan PK yang diajukan Bambang pada 23 Desember 2010, sehingga putusan cerai kembali berlaku.
Mengembangkan Kultur Private Public Law Firm
Sebagai alumnus LBH, Todung dan Lely mengembangkan kultur kerja di firma hukum LSM Partner menjadi private public law firm. Ada dua pengertian dari prinsip ini. Pertama, mereka menangani kasus-kasus yang sangat selektif atau kontroversi di mata publik seperti seseorang yang didakwa korupsi padahal itu tidak benar.
Pada tahun 2013, Lely menjadi menjadi penasehat hukum bagi para pegawai PT Chevron Pacific Indonesia yang menjadi terdakwa dalam kasus bioremediasi. Dia tidak hanya membela kliennya di pengadilan, tetapi juga menggugat integritas proses hukum yang dianggap tidak adil. Pembelaan Lely dalam kasus ini menunjukkan pendekatan yang tidak hanya fokus pada aspek hukum, tetapi juga pada etika peradilan dan perlindungan hak asasi terdakwa.
Firma LSM membela Lin Che Wei, yang diadili karena diduga terlibat dalam korupsi pemberian fasilitas ekspor minyak sawit mentah (CPO) dan turunannya pada tahun 2022. Dalam pembelaannya, Lely menilai bahwa dakwaan jaksa mengalami error in persona. Menurutnya, Lin Che Wei tidak seharusnya didudukkan sebagai terdakwa karena tidak memiliki kewenangan dalam penerbitan izin ekspor. Posisi kliennya sebagai anggota Tim Asistensi Menko Perekonomian, yang hanya bertindak sebagai mitra diskusi dan pemberi saran profesional, bukan pengambil keputusan kebijakan. Selain Lely, tim pembela Lin Che Wei lainnya adalah Maqdir Ismail, alumnus LBH.
Lin Che Wei mengenang Lely sebagai pengacara yang cemerlang, yang kecerdasan dan dedikasinya menjadi penopang teguh dalam kasus minyak goreng yang sangat kompleks. “Beliau membedakan diri sebagai pemikir hukum paling teliti dan tekun yang pernah saya temui, mengerahkan jerih payah luar biasa di bidang yang dianggap sia-sia oleh banyak orang,” kata Lin Che Wei yang pesannya dibacakan oleh Todung Mulya Lubis di pemakaman Lely di TPU Tanah Kusir.
Tim pengacara menyiapkan pembelaan bagi Lin Che Wei di pengadilan negeri. Menurut Che Wei, banyak pengacara menggunakan pendekatan cookie cutter atau template yang sudah baku karena peluang keberhasilannya tipis. Namun, katanya, Ibu Lely menyiapkan dokumen eksepesi secara hati-hati meskipun tahu peluangnya kecil. Dia masih ingat Lely berkata "Kita coba sebisa mungkin ya, karena saya yakin kamu tidak bersalah."
Menurut Che Wei, almarhumah Lely mengajarkan pelajaran berharga tentang kedalaman hukum melalui komitmennya pada proses menantang ini. Dia mendengar kabar kalau Lely sakit berat, akan tetapi profesionalisme dan perhatiannya pada yang menimpa dirinya tak goyah. Lely kemudian menugaskan dua profesional hukum untuk melanjutkan perjuangan hukum Che Wei ke MA. Melalui telepon, Lely selalu memberikan dukungan moral. “Kecerdasan luar biasa, etos kerja tak kenal lelah, dan pendekatan prinsipnya terhadap hal-hal yang hampir mustahil, meninggalkan legacy yang saya ingat,” kenang Lin Che Wei.
Membela Kebebasan Pers: Kasus Tempo, Time dan Matra
Pengertian kedua dari prinsip private public law firm adalah Todung dan Lely menyediakan waktu untuk menanganai kasus-kasus dengan probono (gratis) atau pembelaan yang tidak berdasarkan jasa hukum. Menurut Todung, kiprah Lely tidak hanya di law firm comercial. “Sebagai alumni LBH, Lely melibatkan dirinya dalam gerakan anti korupsi, penguatan demokrasi dan hak asasi manusia, dalam melawan titanic dan kesewenang- wenangan,” kata Todung.
Lely menjadi tim penasehat hukum majalah Tempo yang menggugat ke pengadilan setelah media ini dibredel Menteri Penerangan Harmoko pada tahun 1994. Dia juga menjadi tim pembela Tempo ketika digugat oleh Tommy Winata pada tahun 2003. Adnan Buyung Nasution dan Todung Mulya Lubis tampil di pengadilan dan publik membela Tempo. “Lely berada di belakang layar yang menyiapkan dan menyusun pembelaan. Dia sosok yang teliti, teguh dan memiliki prinsip,” kata Bambang Harymurti, mantan Pemimpin Redaksi Tempo yang hadir di TPU Tanah Kusir bersama istrinya.
Pada Agustus 2004, majalah Matra menerbitkan artikel berjudul Tanahabang Riwayatmu Kini yang menggambarkan Herkules Rosario Marshal sebagai preman. Herkules marah. Dia merasa dirugikan dan mengajukan somasi serta tuntutan ganti rugi Rp 2 miliar. Lelyana tampil membela majalah Matra. Dia tidak gentar menghadapi Herkules yang disebut-sebut dekat dengan seorang jenderal.
Menurut Lely, media memiliki hak untuk menyampaikan informasi dan opini terutama dalam ranah jurnalistik investigasi. Pemberitaan Matra, katanya, merupakan bagian dari fungsi kontrol sosial pers dan dilindungi undang-undang. Pengadilan Negeri Jakarta Selatan menyarankan mediasi. Akhirnya kedua pihak sepakat menyelesaikan perkara di luar pengadilan.
Todung dan Lely juga menjadi penasehat hukum majalah Time yang digugat keluarga Soeharto sebesar Rp 27 triliun atas tuduhan pencemaran nama baik. Pada terbitan tahun 1999, majalah ini menerbitkan investigasi berjudul “Soeharto Inc” yang menyoroti dugaan kekayaan tersembunyi keluarga mantan Presiden Soeharto. Menurut mereka, artikel Time itu merupakan produk investigasi dan dilindungi oleh prinsip kebebasan pers. Pada tahun 2009, Mahkamah Agung melalui Peninjauan Kembali menyatakan bahwa Time tidak bersalah.
Pembelaan serupa juga dilakukan terhadap Asian Wall Street Journal (AWSJ) yang menurunkan berita investigasi berjudul Seedy Indonesia Saga: Monsanto Pays to Settle Allegations of Bribery pada 5 April 2005. Berita ini mengungkap dugaan suap oleh perusahaan agribisnis Monsanto kepada pejabat Indonesia untuk meloloskan regulasi terkait kapas transgenik.
Harvey Goldstein, pendiri Harvest International Indonesia dan Harvest International Inc, menggugat AWSJ dan lima jurnalisnya ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Todung dan Lely menjelaskan bahwa gugatan tersebut mengada-ada karena tidak melalui mekanisme hak jawab atau Dewan Pers sebagaimana diatur dalam UU Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers, Menurut mereka, berita AWSJ adalah hasil investigasi yang menyajikan fakta dan bantahan dari semua pihak, termasuk Harvey Goldstein sendiri. Pengadilan Negeri Jakarta Pusat memang tidak mengabulkan gugatan Harvey tersebut.
Lely juga menjadi bagian dari tim hukum Asosiasi Media Siber Indonesia (AMSI) dan Aliansi Jurnalis Independen (AJI) dalam upaya hukum Peninjauan Kembali Undang-Undang Penyiaran di Mahkamah Konstitusi. Dia membantu menyusun argumentasi konstitusional bahwa beberapa ketentuan dalam rancangan undang-undang tersebut, seperti larangan jurnalisme investigatif dan pemberian kewenangan sengketa pers kepada KPI, bertentangan dengan UUD 1945, khususnya Pasal 28F tentang hak memperoleh informasi dan kebebasan berekspresi.
Berjuang Membela Gerakan Anti-Korupsi
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) periode 2011-2015 menetapkan Komjen Pol Budi Gunawan sebagai tersangka korupsi pada 13 Januari 2015. Tiga hari sebelumnya, Presiden Joko Widodo mengajukan nama Budi Gunawan sebagai calon Kepala Polri ke DPR. Presiden, PDI Perjuangan dan Mabes Polri marah besar. Maklum, Budi Gunawan adalah mantan ajudan Megawati Sukarnoputeri ketika menjadi presiden. Langkah pimpinan KPK tersebut mendapat balasan.
Bareskrim Mabes Polri menangkap Wakil Ketua KPK Bambang Widjojanto dan menjadikannya tersangka tindak pidana keterangan palsu. Ketua KPK Abraham Samad juga sempat ditahan dalam kasus lama yang dicari-cari. Begitu juga dengan penyidik KPK, Novel Baswedan yang dijadikan tersangka pada kasus yang terjadi 12 tahun lalu.
Menghadapi kriminalisasi terhadap pimpinan dan penyidik KPK, Lelyana Santoso ikut menjadi salah satu dari 63 anggota tim kuasa hukum. Lely mendampingi Bambang Widjojanto, Abraham Samad dan Novel Baswedan selama pemeriksaan oleh Polri dan Kejaksaan. Sebagian besar dari tim kuasa hukum adalah alumnus LBH. Banyaknya tim penasehat hukum tersebut memberi tekanan moral terhadap lembaga negara.
Abraham Samad menjelaskan almarhumah Lely yang menemaninya ketika dirinya ditahan penyidik kepolisian di Makassar. “Pakaian di badannya saja yang ia kenakan, tanpa persiapan, tapi semangatnya luar biasa. Pesan yang saya ingat betul darinya adalah ‘Abraham, kalau kita berjuang, jangan pikirkan hasilnya. Kita berjuang saja, kalau kita pikir hasilnya, perjuangannya bisa kendor’,” kata Abraham Samad yang hadir di acara pemakaman Lelyana di TPU Tanah Kusir sebagaimana dikutip hukumonline.
Abraham Samad memuji sosok almarhumah yang meski bekerja di firma hukum besar tetap selalu hadir membela teman-temannya yang dikriminalisasi. Saat ini, kata Abraham, tidak banyak lawyer yang punya komitmen seperti Lelyana Yanti Santosa.
Memang, Lely dan puluhan advokat yang membela pimpinan KPK menunjukkan kepekaan sosial dan politik. Mereka menyoroti maladministrasi oleh penyidik (seperti temuan Ombudsman) dan pembingkaian kasus sebagai upaya untuk mengerdilkan independensi KPK. Menurut mereka upaya kriminalisasi individu memiliki dampak sistemik terhadap lembaga pemberantas korupsi. Oleh karena itu mereka turun tangan untuk menjaga martabat dan kemandirian KPK sebagai institusi. Bagi mereka, advokat tidak hanya berfungsi sebagai perisai hukum, tetapi juga sebagai penjaga prinsip demokrasi dan supremasi hukum.
Selama 41 tahun pernikahan dengan Mas Achmad Santosa, Lely tidak pernah curhat atau mengeluh dalam menjalankan profesinya. Padahal Mas Ota tahu bahwa sejumlah kasus yang ditangani Lely itu sangat menyedot energi dan emosi istrinya. “Jadi memang sebagai perempuan, dia sangat mandiri dan tangguh.”
Meja makan atau ruang tamu rumah di Jalan Kenari, menjadi tempat diskusi membahas peristiwa politik, sosial dan ekonomi terkini. “Saya, Lely dan Gilang mengkritisinya dengan melihat kaitannya dengan relasi kekuasaan,” kata Mas Ota. Gilang Santosa, puteranya, mengikuti jejaknya sebagai pengacara di kantor LSM - Lubis Santosa & Partners.
Banyak alumnus LBH, pengacara LBH yang senior-junior dan aktivis kelompok masyarakat sipil yang hormat dengan pasangan aktivis (Mas Ota dan Lely) yang saling mendukung dan menunjang ini. “Kami jadi saksi atas amal kebaikan yang telah diukir almarhumah. Ia adalah contoh pasangan pejuang keadilan dan penegak hukum yang bisa memberi inspirasi bagi generasi penerus,” ujar Ketua Mahkamah Konstitusi periode 2003-2008, Prof Jimly Asshiddiqie kepada hukumonline seusai pemakaman Lelyana di TPU Tanah Kusir.
Sumber referensi:
https://www.lsmlaw.co.id/index.php?option=com_content&view=article&id=149%3Alelyana-santosa&catid=41%3Apartners&Itemid=118&lang=en
https://www.hukumonline.com/berita/a/mendiang-lelyana-santosa-di-mata-kolega-lt68679425d95c4/?page=all

Penulis Indonesiana
1 Pengikut

Obituari Lelyana Santosa: Pengacara Teladan yang Menolak Noda Hitam di Kantornya
Rabu, 9 Juli 2025 13:02 WIB
Sosialisasi Yayasan Pandu Dunia bagi Kemajuan Pramuka di Tanah Air
Jumat, 27 Juni 2025 07:19 WIBBaca Juga
Artikel Terpopuler